Jenis Sastra Jawa Berdasar Urutan Waktu (Sastra Jawa Kuno, Tengahan, Baru, dan modern)

Sastra Jawa Kuno,  Tengahan,  Baru, dan modern

Jenis Sastra Jawa Berdasar Urutan Waktu


Sebenarnya pembagian jenis sastra jawa ini bukan berdasarkan urutan waktu, tetapi berdasarkan bahasa jawa yang digunakan maka dapat di bedakan menjadi beberapa jenis yaitu 
  • Sastra Jawa Kuno
  • Sastra Jawa Tengahan
  • Sastra Jawa Baru
  • Sastra Jawa modern.





1. Sastra Jawa Kuno

           Sebagian besar Sastra Jawa Kuno berbentuk kakawin (puisi) yang memakai metrum India, tetapi terdapat juga yang berbentuk parwa (prosa). Bahasa Jawa Kuno sering disebut sebagai Bahasa Kawi, akan tetapi sebutan Bahasa Kawi bagi Bahasa Jawa Kuno tidaklah tepat. Bahasa Kawi hanya berarti bahasa para Kawi, yakni para penulis kakawin. Bahasa Jawa Kuno sesunguhnya tidak hanya dipakai dalam kakawin saja,  parwa juga memakai Bahasa Jawa Kuno sehingga sebutan Bahasa Kawi kemudian menjadi terlalu sempit. Memang pernah ada penggunaan istilah Bahasa Parwa, tetapi sebagaimana sebutan Bahasa Kawi, sebutan Bahasa Parwa juga terlalu sempit, hanya meliputi sebagian saja, tidak meliputi semuanya.
            Sastra Jawa Kuno hidup pada era IX- XVII, atau pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yakni semenjak Mataram Hindu hingga Majapahit. Beberapa karya besar zaman Jawa Kunantara lain:
-          Ramayana karya Yogiswara
-          Arjunawiwaha karya Mpu Kanwa
-          Hariwangsa karya Mpu Panuluh
-          Bharatayuddha karya Mpu Sedah dan Panuluh
-          Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh
-          Krsnayana karya Mpu Panuluh
-          Smaradahana karya Mpu Dharmaja
-          Arjunawijaya karya Mpu Tantular
-          Sutasoma karya Mpu Tantular
-          Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca
-          Lubdaka/Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung (Zoetmulder, 1985: 453).

Contoh sastra Jawa Kuno

Kitab Candha Karana, Kakawin Ramayana karya empu Yogiswara, kitab Budha  Mahayana Sang Hyang Kamabayanikam, Kitab Brahmandapurana, Serat Mahabarata, uttarakanda, Adiparwa, Sabhaparwa, Wirataparwa, Udyogaparwa, Bhismaparwa, Asramawasaparwa, Mosalaparwa, Prasthanikaparwa, Swargarohana-parwa, Kunjarakarna.
·         

      2. Sastra Jawa Tengahan

Bahasa Jawa Tengahan dipakai sekitar era XVI, atau pada masa selesai Majapahit hingga dengan masuknya Islam ke Jawa. Karya Sastra Jawa Tengahan sebagian besar dalam bentuk kidung(Puisi). Berbeda dengan kakawin yang memakai metrum India, kidung menggunakan metrum Jawa. Beberapa karya Kidung antara lain:
-          Kidung Harsawijaya
-          Kidung Ranggalawe
-          Kidung Sorandaka
-          Kidung Sunda
-          Wangbang Wideya
-          Sri Tanjung (Zoetmulder, 1985: 532)..

Contoh sastra Jawa Pertengahan:

Kitab Arjuna Wiwaha, Kakawin Kresnayana, Kakawin Sumanasantaka, Kakawin Smaradahana dan Kakawin Bhomakawya, Kakawin Bhatarayudha  karya, Hariwangsa, dan Gathotkacasraya, Kakawin Wrettasancaya dan LubdhakaNegara Kertagama, Kakawin Arjunawijaya dan Kitab Sutasoma, Kitab Nawaruci

·        3. Sastra Jawa Baru

            Penggunaan Bahasa Jawa Baru bermula sejak masuknya Islam ke Jawa, dan semakin berkembang ketika kerajaan Demak berkuasa. Berbeda dengan sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Tengahan yang tidak menyisakan sastra lisan, Sastra Jawa Baru masih meninggalkan sastra dalam bentuk lisan. Sastra Lisan kebanyakan berkembang dalam tradisi masyarakat lokal bersama folklor setempat. Sastra Lisan ini sering juga disebut sebagai Cerita Rakyat.

Contoh karya sastra Jawa Baru :

Babad Dipenegoro I, Babad Diponegoro III, Bendhe Ki Becak, Serat Jatimurti, Serat Madurasa, Kasarasing batin, Wedharama Winardi,  dan artikel-artikel Ki Hajar Dewantara.

·         4. Sastra Jawa Modern

            R.Ng. Ranggawarsita dikenal sebagai pujangga terakhir Sastra Jawa. Setelah kematiannya berkembanglah Sastra Jawa Modern. Kemunculan Sastra Jawa Modern bersamaan dengan munculnya penerbit dan surat khabar, menyerupai Penerbit Balai Pustaka (1917), Surat Khabar Bromartani (1885), Surat Khabar Retnodumilah (1895), Surat Khabar Budi Utomo (1920) dan lain-lain.
            Tokoh Sastra yang muncul pada masa ini yaitu Ki Padmosusastra, yang oleh Imam Supardi dijuluki “Wong mardika kang kang marsudi kasusastran Jawa” (Suripan, 1975: 8). Ki Padmosusastra lebih banyak menulis prosa daripada puisi (tembang). Ki Padmosusastra juga menerbitkan karya-karya pujangga sebelumnya. Beberapa karyanya antara lain: Rangsang Tuban, Layang Madubasa, Serat Pathibasa.
            Pada periode ini banyak karya berupa kisah perjalanan, misalnya Cariyos Kekesahan Saking Tanah Jawi Dhateng Nagari Welandi tulisan RMA Suryasuparta. Terdapat juga karya terjemahan dari sastra dunia, seperti Dongeng Sewu Setunggal Dalu.
            Sastra Jawa Modern periode 1920 – 1945 sepenuhnya didukung oleh penerbit Balai Pustaka, Majalah Panjebar Semangat. Novel pertama  diterbitkan tahun 1920 berjudul Serat Riyanto tulisan RM Sulardi. Sejak tahun 1935 crita sambung mulai berkembang, diawali oleh kisah bersambung karya Sri Susinah dengan judul “Sandhal Jinjit Ing Sekaten Sala” (PS No. 44 Tahun III, 2 Nov 1935). Disusul kemudian dengan perkembangan crita cekak yang dimulai oleh terbitnya karya Sambo yang berjudul “Netepi Kuwajiban” (PS No. 45 Tahun III, 9 Nov 1935). Geguritan muncul agak belakangan, yakni berjudul “Dayaning Sastra” karya R. Intoyo dalam majalah Kejawen No, 26 tanggal 1 April 1941.
Sejak ketika itu Sastra Jawa Modern terus berkembang hingga ketika ini dengan didukung oleh ratusan pengarang yang masih setia.

·         Sastra Puisi Jawa Moderen

Sebagai teladan di bawah ini jenis tembang macapat Dhandhanggula.
Song-song gora / candraning hartati /
lir winidyan / sarosing parasdya /
ringa-ringa / pangriptane //
tan darbe / labdeng kawruh /
angruruhi / wenganing kebijaksanaan //
kang mirong / ruhareng tyas /
njaga / angkara nung //
minta luwar / ring duhkita /
aywa kongsi / kewran lukiteng kinteki /
kang kata / ginupita //    (Serat Cemporet karya R.Ng. Ranggawarsita)

Di bawah ini contoh tembang Pucung dan tembang Asmaradana.

                           
Pucung.
Ngelmu iku kelakone kanthi laku
lekase lawan kas
 tegese kas nyantosani
 setya budya pangekese dur angkara
(Wedhatama III: 1, karya K.G.P.A.A Mangkunagara IV)

    Asmaradana
Anjasmara ari mami
 mas mirah kulaka warta 
dasihmu tan wurung layon 
aneng kutha Prabalingga
 prang tandhing Urubisma
kariya mukti wong ayu
pun kakang pamit palastra
x